Pertanyaan:
Bagaimana hukum berinvestasi pada perdagangan berjangka (saham/ valas) di bursa efek?
Hanik
Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Transaksi jual beli saham dengan aneka ragam macamnya termasuk jenis jual beli yang penting di masa kiwari ini, sehingga bermunculanlah pasar modal atau bursa. Oleh karena itu, pertanyaan ini sangat mengena dan amat penting bagi seorang muslim untuk dijawab. Seorang muslim harus mengetahui mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Secara umum, ditinjau dari jenis dan kegiatan perusahaan yang mengeluarkan saham, maka transaksi jual beli saham terbagi menjadi dua:
1. Perusahaan yang berkegiatan dalam usaha-usaha mubah, seperti: perusahaan pertanian, industri, dan perniagaan. Apabila pada klausul peraturannya tidak terdapat ketentuan bahwa yang bersangkutan harus bermuamalah dengan muamalah ribawi atau perkara haram lainnya, maka seorang muslim diperbolehkan menjadi pemegang sahamnya dan terlibat dalam jual beli sahamnya.
2. Perusahaan yang berkegiatan dalam usaha-usaha haram (terlarang), seperti: perusahaan perbankan konvensional, serta perusahaan yang memproduksi atau memperdagangkan barang terlarang (misalnya: pabrik rokok dan minuman keras). Dengan demikian, seorang muslim dilarang menjadi pemegang sahamnya dan terlibat dalam jual beli sahamnya. (Silakan lihat masalah ini pada kitab Al-Fiqh Al-Muyassarah, hlm. 24, karya Prof. Dr. Abdullah Ath-Thayar)
Ini menyangkut permasalahan jual beli saham dari perusahaan, secara umum.
Sedangkan jika dilihat dari segi transaksi bursa yang ada, maka Islamic Fiqih Academy (Majma’ Al-Fiqih Al-Islami), sebuah lembaga pengkajian fikih di bawah Rabithah Al-Alam Al-Islami, telah merinci dan menetapkan hukum masing-masing transaksi tersebut pada konferensi ketujuh mereka, yang diadakan pada tahun 1404 H di kota Mekah Al-Mukarramah. Sehubungan dengan persoalan ini, Majelis telah memberikan keputusan sebagai berikut:
Pertama: Target utama pasar modal/bursa saham adalah menciptakan pasar tetap dan simultan, yang mewujudkan bargaining (tawar-menawar) dan demands (permintaan), serta pertemuan antara para pedagang dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli. Ini satu hal yang baik dan bermanfaat, dapat mencegah para pengusaha yang mengambil kesempatan orang-orang yang lengah atau lugu yang ingin melakukan jual beli tetapi tidak mengetahui harga sesungguhnya, bahkan tidak mengetahui siapa yang mau membeli atau menjual sesuatu kepada mereka.
Akan tetapi, kemaslahatan yang jelas ini, dalam dunia bursa saham tersebut, terselimuti oleh berbagai macam transaksi yang amat berbahaya menurut syariat: perjudian, memanfaatkan ketidaktahuan orang, dan memakan uang orang dengan cara haram. Oleh sebab itu, tidak mungkin ditetapkan hukum umum untuk bursa saham dalam skala besarnya. Namun, yang harus dijelaskan adalah segala jenis transaksi jual beli yang terdapat di dalamnya, secara satu per satu secara terpisah.
Kedua: Bahwa transaksi instan terhadap barang yang ada dalam kepemilikan penjual untuk diserahterimakan–bila dipersyaratkan bahwa harus ada serah terima langsung pada saat transaksi menurut syariat–adalah transaksi yang diperbolehkan, selama transaksi itu bukan terhadap barang yang haram menurut syariat pula. Namun, jika barangnya tidak berada dalam kepemilikan penjual, maka syarat-syarat “jual beli as-salam” harus dipenuhi. Setelah itu, barulah pembeli boleh menjual barang tersebut, meskipun barang tersebut belum dia terima.
Ketiga: Sesungguhnya, terkait dengan transaksi instan terhadap saham-saham perusahaan dan badan usaha, jika saham-saham itu memang berada dalam kepemilikan penjual maka transaksi semacam itu boleh-boleh saja menurut syariat, selama dasar usaha perusahaan atau badan usaha tersebut tidak haram. Bila dasar usahanya haram, seperti: bank ribawi, perusahaan minuman keras, dan sejenisnya, maka transaksi jual beli saham tersebut menjadi haram.
Keempat: Bahwa transaksi instan maupun berjangka terhadap surat piutang dengan sistem bunga, yang memiliki berbagai macam bentuk, tidaklah diperbolehkan menurut syariat, karena semua itu adalah aktivitas jual beli yang didasari oleh riba yang diharamkan.
Kelima: Bahwa transaksi berjangka–dengan segala bentuknya–terhadap barang gelap, yakni saham-saham dan barang-barang yang tidak berada dalam kepemilikan penjual dengan cara yang berlaku dalam pasar bursa tidaklah diperbolehkan menurut syariat, karena termasuk menjual barang yang tidak dimiliki. Dengan dasar bahwa ia (penjual, ed.) baru akan membelinya dan menyerahkannya kemudian hari pada saat transaksi. Cara ini dilarang oleh syariat, berdasarkan hadis sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.” Demikian juga, diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang sahih dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menjual barang yang dibeli sebelum pedagang mengangkutnya ke atas punggung kuda mereka (diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, V:191; Abu Daud, no. 3493).
Keenam: Transaksi berjangka dalam pasar bursa bukanlah “jual beli as-salam” yang diperbolehkan dalam syariat Islam, karena keduanya berbeda dalam dua hal:
1. Dalam bursa saham, harga barang tidak dibayar langsung saat transaksi, namun ditangguhkan pembayarannya sampai penutupan pasar bursa. Sementara, dalam “jual beli as-salam”, harga barang harus dibayar terlebih dahulu dalam transaksi.
2. Dalam pasar bursa, barang transaksi dijual dalam beberapa kali penjualan, saat barang berada dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya, tidak lain hanyalah tetap memegang barang itu atau menjualnya dengan harga maksimal kepada para pembeli dan pedagang lain, bukan secara sungguhan; secara spekulatif melihat untung-ruginya, persis seperti perjudian. Padahal, dalam “jual beli as-salam”, pelaku transaksi tidak diperbolehkan untuk menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya.
Oleh karena itu, Islamic Fiqih Academy (Majma’ Al-Fiqih Al-Islami) berpandangan bahwa para penanggungjawab di berbagai negara Islam berkewajiban untuk tidak membiarkan bursa-bursa tersebut melakukan aktivitas mereka sesuka hati dengan membuat berbagai transaksi dan jual beli di negara-negara mereka, baik yang hukumnya mubah maupun haram. Mereka hendaknya juga tidak memberi peluang bagi orang-orang yang mempermainkan harga sehingga menggiring kepada bencana finansial dan merusak perekonomian secara umum, dan pada akhirnya menimbulkan malapetaka bagi kebanyakan orang, karena kebaikan yang sesungguhnya adalah dengan berpegang pada ajaran syariat Islam pada segala sesuatu. Allah berfirman,
هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am:153)
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Penolong yang memberikan taufik, yang memberi petunjuk menuju jalan yang lurus. Semoga salawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad.
Demikianlah keterangan lembaga yang menjadi wadah berkumpulnya para ulama fikih dunia.
Sekian jawaban dari saya. Mudah-mudahan bermanfaat. Wabillahi taufiq.
Sumber: www.ustadzkholid.com
Dengan pengeditan oleh redaksi www.PengusahaMuslim.com